Ekspor Mobil Indonesia Ditolak karena Standar Emisi

Ekspor mobil buatan Indonesia ditolak negara lain karena mentok standar emisi. Mobil buatan Indonesia mengadopsi standar emisi Euro 4, sementara negara lain sudah ada yang Euro 5 sampai Euro 6.

Standar emisi Euro 4 sendiri belum lama diterapkan di Indonesia. Untuk mesin bensin, Euro 4 diterapkan mulai tahun 2018. Sementara mesin diesel standar Euro 4 baru diterapkan April 2022 yang ditunda dari 2021 karena pandemi COVID-19. Padahal negara tetangga sudah lebih dulu menerapkan standar emisi yang bahkan lebih tinggi.

Salah satunya Vietnam. Mulai tahun 2022 ini, Vietnam sudah menerapkan standar emisi Euro 5. Mobil buatan Indonesia seperti Honda Brio yang masih menerapkan Euro 4 tak lagi bisa diekspor ke Vietnam karena mentok di standar emisi.

Ini menjadi PR besar bagi pemerintah. Sebab, menurut Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin, standar emisi ini tidak hanya menyangkut soal lingkungan yang lebih bersih, tapi juga persaingan dagang.

Pria yang akrab disapa Puput itu menyarankan, Indonesia sebaiknya langsung melompat mengadopsi standar emisi Euro 6, tak perlu ke Euro 5. “Karena Euro 5 itu sulfur kontennya sama ya, sama-sama maksimum 10 ppm. Yang membedakan kalau Euro 6 itu jauh lebih efisien karena ada satu parameter yang diatur, yaitu parameter karbondioksida. Semakin rendah karbondioksida, itu artinya kendaraan itu semakin efisien,” katanya dalam konferensi pers ‘Membangun Daya Saing dengan Standar Emisi untuk Percepatan Kendaraan Rendah Emisi di Indonesia’, Kamis (25/8/2022).

Untuk menerapkan standar emisi yang lebih tinggi, yang dibutuhkan adalah bahan bakar yang lebih bersih. Sementara kendaraannya diharapkan bisa mengikuti. Untuk itu, diperlukan peran Pemerintah agar Indonesia tidak tertinggal.

“Untuk mendorong pemerintah ya kita harus bersatu padu antara masyarakat sipil, dengan aktivis seperti kami, sama-sama kita gulirkan isu secara beruntun. Itu tentu juga akan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sayangnya selama ini kan dorongan itu melemah dari kita. Sehingga pemerintah dapat dikatakan seenaknya saja. Tidak melihat sisi lain, dia hanya melihat sisi industri. Industri otomotif mislanya, kepentingannya dia tidak mau invest baru, tidak mau keluar biaya untuk investasi baru,” ujar Puput.

“DI sisi lain, harus menghadapi tekanan dari prinsipalnya (prinsipal merek kendaraan di negara asalnya). Katakan di Jepang, Korea, China, mereka menghendaki tekanan dari prinsipalnya. Prinsipalnya punya standar ganda. Di negaranya sendiri dan negara-negara maju dijual yang teknologi tinggi, rendah emisi hemat BBM, tapi di Indonesia menjual yang kotor,” komentar Puput.

Menurutnya, jika masih ada sistem seperti itu memang agak sulit. Namun, dia berharap tetap bisa menyuarakan harapan-harapan itu agar didengar dan diterapkan Pemerintah.

“Harapannya akan bisa mempengaruhi Kementerian Perindustrian, kemudian Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi dan di atasnya lagi ada Presiden. Harapannya Presiden mendengarkan bahwa kalau kita adopsi teknologi rendah emisi, itu sebenarnya trigger untuk memenangkan perang dagang sektor otomotif dan sektor bahan bakar,” ucapnya.

(mwka)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *