Apakah Metaverse Dapat Memengaruhi Kehidupan Anak-anak?
Sejak Facebook memperkenalkan Metaverse pada akhir tahun 2021, kata pencarian mengenai istilah ini meningkat hingga 1.500 persen, menunjukkan minat masyarakat yang tinggi untuk mengenal lebih dalam apa itu Metaverse.
Dikutip dari Cointelegraph, Metaverse adalah lingkungan virtual di mana orang dapat melakukan berbagai tugas. Istilah ini awalnya diciptakan oleh penulis fiksi ilmiah Neal Stephenson dalam novelnya Snow Crash, untuk mewakili lingkungan realitas virtual yang terhubung melalui internet dan dapat diakses dari perangkat apa pun seperti komputer.
Di dalam Metaverse, orang dapat melakukan berbagai aktivitas seperti memiliki real estat virtual, bermain game, bekerja dan bertemu orang lain.
Bagi anak-anak, ini merupakan kesempatan yang baik untuk mempelajari keterampilan baru dan mengeksplorasi minat mereka. Misalnya game Minecraft, yang memperkenalkan budaya yang berbeda kepada anak-anak melalui Metaverse.
Baca juga : Peringatan Intel, Krisis Chip Bakal Berlanjut sampai 2024
Anak-anak dapat memperoleh manfaat dari Metaverse, dengan mengikuti kelas virtual melalui platform pendidikan. Namun bukan berarti mereka tidak menerima dampak negatif dari perkembangan teknologi ini, seperti cyberbullying dan paparan konten yang tidak pantas. Kemudian sejauh apa Metaverse dapat mempengaruhi dunia anak-anak?
Arti Metaverse bagi anak-anak
Penelitian awal menunjukkan, para ahli tidak terlalu optimistis mengenai pengaruh Metaverse pada anak-anak. Mengutip dampak negatif dari media sosial seperti depresi, menyakiti diri sendiri dan masalah kesehatan mental lainnya, para ahli mencatat dampak negatif Metaverse mungkin bisa lebih buruk.
Namun masalahnya bukan pada Metaverse itu sendiri, melainkan dari tujuan penggunaan Metaverse. Menurut penelitian yang dilakukan oleh University of Southern California mengenai “game untuk membangun empati”, mengungkapkan Game dan Virtual Reality (VR) jika digunakan dengan benar memiliki dampak yang bagus bagi kesehatan mental.
Yang dikhawatirkan banyak pihak dengan adanya Metaverse ini adalah dapat memperburuk masalah yang sudah diciptakan oleh media sosial, terutama yang berkaitan dengan kesehatan mental generasi muda. Misalnya lingkungan virtual dapat menciptakan rasa kesepian, atau anak-anak dapat terpapar konten berbahaya hingga mendorong mereka untuk melakukan tindak kejahatan.
Keuntungan Metaverse bagi anak-anak
Dalam bidang pendidikan, Metaverse memiliki banyak keuntungan untuk anak-anak. Melalui Metaverse, peserta didik dapat memahami konsep-konsep abstrak dengan mudah melalui cara yang lebih menarik.
Selain itu, metaverse dapat meningkatkan ketrampilan sosial pada anak. Media sosial sering disalahkan karena dapat meningkatkan rasa kesepian dan depresi di kalangan anak-anak.
Tangkap Layar tampilan game online multi-dimensi Duckie Land. Game ini dikembangkan secara multiplatform metaverse berbasis token dan NFT. (ist)
Di sisi lain, Metaverse memiliki potensi untuk menyediakan lingkungan yang aman dan terkendali bagi anak-anak untuk berinteraksi dengan teman sebayanya dan mencari teman baru. Melalui Metaverse, kreativitas anak-anak juga didorong dan bermanfaat untuk mengembangkan kecerdasan sosial pada anak.
Terakhir, Metaverse dapat menjadi salah satu cara yang menyenangkan untuk orang tua menjalin ikatan dengan anak-anak mereka, dan mengajari anak-anak dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan baru. Selama orang tua menyadari potensi berbahaya dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga keamanan anak-anak mereka, Metaverse dapat menjadi tempat yang tepat bagi anak-anak untuk bereksplorasi dan belajar.
Kekurangan Metaverse bagi Anak
Metaverse juga menimbulkan beberapa risiko potensial yang dapat mengancam anak-nak, seperti cyberbullying dan terpapar konten berbahaya.
Cyberbullying atau penindasan di dunia maya merupakan masalah serius karena anak-anak kerap menjadi sasaran penindasan dan pelecehan oleh pengguna anonim. Selain itu, anak-anak juga berisiko terpapar konten yang tidak pantas seperti kekerasan, konten seksual dan ujaran kebencian.
Beberapa ahli juga khawatir, Metaverse dapat membuat anak-anak kecanduan mengingat sifatnya yang imersif dan menarik. Sehingga mungkin sulit bagi anak-anak untuk mengatur waktu mereka dan membatasi penggunaan Metaverse. Saat menggunakan Metaverse, anak-anak juga ditakutkan secara tidak sengaja membagikan informasi pribadi mereka seperti alamat rumah dan detail informasi pribadi lainnya.
Metaverse juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi fisik, karena penggunaan headset VR secara berlebihan dapat menyebabkan gejala seperti pusing, mual, dan sakit kepala.
Untuk memulainya, awasi aktivitas online anak dan batasi akses mereka ke konten yang berpotensi berbahaya. Orang tua juga perlu menetapkan aturan dan pedoman yang jelas untuk menggunakan Metaverse.
Ini membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi semua pengguna, terutama anak-anak. Selain itu, anak-anak juga harus menerima panduan mengenai perilaku yang pantas saat berinteraksi dengan orang lain secara online.
Produsen dan perusahaan teknologi juga harus melakukan bagian mereka dalam melindungi anak-anak, dengan memoderasi konten dan mengawasi perilaku buruk yang mengancam keamanan penggunanya. Perangkat VR dan sistem metaverse juga harus dirancang dengan mempertimbangkan kenyamanan dan kesejahteraan anak-anak.
Selain itu, langkah-langkah keamanan online seperti perangkat lunak antivirus, perlindungan kata sandi dan enkripsi juga harus dibangun ke dalam perangkat VR dan platform metaverse.
Melindungi anak-anak dari dampak negatif Metaverse merupakan tanggung jawab bersama. Orang tua harus melakukan bagian mereka dalam mengawasi aktivitas anak di dunia digital baru ini. Namun perusahaan teknologi juga harus ambil bagian dengan berupaya menjadikan Metaverse sebagai tempat yang lebih aman bagi penggunanya.
(mw/dvs)